Umm.... Gue pingin membuat post tentang ini ;u; err, mungkin hampir semua orang di dunia pernah jatuh cina ((maafkan bahasa saya yang terlalu baku =v=)) dan.... hampir semua orang yang udah pernah jatuh cinta pasti pernah ngerasain patah hati. ((ah, sering sekali terjadi T.T)).
Anyways, gue mau curcol soal arti cinta ((aduh, malu)) cinta itu bagi gue, artinya itu relatif, tergantung semua orang. Ada yang bagi seseorang itu adalah perasaan yang menjijikkan, atau menyakitkan atau merepotkan, tapi ada juga yang berpikir kalau cinta itu adalah perasaan yang indah, patut disyukuri, dsb. Nah, selain relatif ada lagi, bagi gue, cinta itu adalah perasaan terkuat yang ada di hati setiap orang, lewat cinta, kita bisa menyayangi keluarga, teman-teman, hewan peliharaan (lol), dan... seorang cewek atau cowok yang kita sukai.
Abis itu, bagi gue, cinta itu juga adalah sebuah jerat, jadi, sekali suka, susah buat gak suka, meskipun disakitin berapa kali juga, gak bakal berenti suka.
Dan kalo emang ada yang bilang cinta itu nyesek, sakit, ngerepotin, gue setuju aja, pengalaman ngajarin kayak gitu -.- jadi gak jarang kalo situasi lagi gak enak dengan anda-tau-siapa (bukan voldemort, cuman ngikut doang) menjadi bergalau-galau ria, tenggelam ke dalam Sea of Despair, tersesat di Labyrinth of Impasse, atau hilang di Space of Void. hohoho.
Kadang2 kalo orang putus cinta, patah hati, downnya pasti ampe pengen bunuh diri, gak mau idup, galau sampe berbulan-bulan.
Gue punya cerita tentang seorang cewek, sebut aja, umn... Talia.
Talia ini anaknya ((berdasarkan survey dan yang paling sering didengar)) ramah, introvert, lucu, dan galak ((tsundere!!!)) kata temen-temennya, Talia ini cantik, manis, baik, pinter, blabla gitulah, tapi, dia gak populer, di kelas, Talia ini cuma punya satu temen baik, dia gak pernah berani buat ngajak orang ngobrol hal2 seru ato bercanda, dia kebanyakan ngobrol dan bercanda sama temen sekelas itu, terjadi dengan sendirinya, ato gara-gara suasana, dan orang-orang dikelas Talia juga, cuma menganggap Talia itu 'ada' bukan bagian dari mereka. Bagi Talia, dia gak terlalu suka sama dirinya, bagi dia, kulitnya item, terus dia itu pendek, jerawatan pula! cuma ada satu kata dari Talia buat mendeskripsikan dirinya : menyedihkan.
Suatu hari, si Talia ini diajak temennya ke persekutuan gereja temennya ini, sebut aja nama temennya umn.. Sera, di persekutuan gereja itu, ada saudara-saudaranya Sera juga disitu, dan disitulah, Talia ketemu ama kakak sepupunya Sera, namanya, erm, Osamu.
Awalnya, Talia ini biasa aja ama si Osamu, cuman sebatas gue-tau-orangnya-yang-itu aja dan nggak lebih.
Akhirnya, setelah setelah dua atau tiga kali Talia ikut persekutuannya si Sera, ada sesuatu. Besoknya, Sera nelfon Talia, dia bilang, "Kakak sepupu gue nanya-nanyain lo looh, ciee..." yaa intinya gitu deh, Talia pertamanya cuek, paling cuman penasaran itu yang ada di otaknya Talia.
Tapi, minggu berikutnya, Sera nelfon lagi, "Osamu mukanya kayak seneng gitu kalo gue ngomongin elu looh." intinya gitu deh, Talia mulai bingung, tapi Talia tetep keukeuh ama pendiriannya, hubungan Talia ama keluarga Sera itu cuman oh-gue-tau-orangnya-yang-mana aja.
Dan seterousnyaa, Sera terus ngabarin kalo Osamu kayak menunjukkan perhatian.
Lama kelamaan, Talia mulai ((bahasanya idih)) suka sama Osamu. Osamu ini terkenal di sekolahnya, jago futsal, pinter, masuk brondong tercakep, blabla. Sementara Talia? tanyain aja ke beberapa anak populer dan mereka pasti jawab "Heh? Yang mana tuh? Ga kenal." ato ke kakak kelas yang spontan pasti langsung jawab, "Hah? Emang ada anak namanya Talia di sekolah ini?" ((menyedihkan)).
Talia bener-bener seneng banget karena Osamu itu kayaknya err. gitulah. ama Talia. Seorang cowok yang ganteng, pinter, jago olahraga, terkenal, supel, diidolakan, dikejar2 cewek, dan blablabla nunjukin perhatian ke anak yang bisa di cap "Nothing" di sekolahnya. mengharukan.
Yaa, kalo diliat emang kayaknya Dreams Comes True abis. Talia akhirnya mulai ngajak chat di fb, di bales, syukurlah, tapi, kedua kalinya, ketiga kalinya, gak dibales. Talia langsung down. Dia ngeliat, kayaknya perjalanan cinta ((puitis!!)) Sera dan temennya yang atu lagi, Lucia mulus-mulus aja, Talia mulai lagi terpuruk ke dalam Sea of Despair-nya, dan mikir, "Tolol, ngapain sih gue bisa suka ama orang yang jelas-jelas rajanya populer, tolol banget, ngarep bisa gini, ngarep bisa gitu, cih, gue kan bukan apa-apa, apa hak gue buat suka sama orang yang terkenal, baik, pinter, dan idola kayak gitu??".
Sampe sekarang, Talia belum bisa mengungkapkan ((bisa alergi gue)) perasaan dia ke Osamu, yep, kalo diliat, emang sakit, sakit banget. Talia emang down selama beberapa waktu, tapi apa dia bakal terus kayak gitu? Nggak. Dia punya bejibun tanggung jawab sebagai pelajar, anak, dan sahabat, dia gak bakal terus down, dia masih punya keluarga dan sahabat yang selalu ngedukung dia. Jadi dia gak bakal nyoba-nyoba bunuh diri ((Moral : Jangan pernah membuang hidupmu karena persoalan cinta dengan anda-tahu-siapa ato pacarmu, selain dosa dan rugi, kamu juga bikin orang-orang yang sayang padamu jadi sedih))
Nah, kita doain aja biar si Talia ini bisa jadi ama si Osamu ini :P. Kalo enggak? Yah, si Talia juga bisa nemuin cowok lain kok --'' Anyways, guys, walopun ini agak menyimpang dari topik, kalo kita lagi down, mending kita ga usah mikir, "Haah, kenapa sih gue bisa suka..." dan sebagainya, karena ada orang didunia ini yang belum ngerti atau gak ngerti sama sekali soal cinta. Cinta, seperti yang gue bilang tadi, adalah perasaan terkuat, jadi -kalo bisa- jangan pernah nyesel buat jatuh cinta. Kalo siap buat jatuh cinta, harus siap juga buat patah hati. So, be prepared everyone
Ohya, dan kalo pengen berusaha buat bisa 'diliat' dan dianggap sebagai 'bagian' sama anda-tahu-siapa, berusahalah, jangan takut buat berubah menjadi yang lebih baik :D
Love
Sayaka-Chan~
The LOVE Talk
Read User's Comments0
Red Water Fairy and Red Puppet Master Chapter 8 : I Remember Now...
Recap : Tsunade dan Higen menggunakan jurus pengembali ingatan untuk mengembalikan kenangan Sayaka selama di Sunagakure.
Sayaka mengernyit melihat pemandangan baru ini, dia melihat dirinya sendiri ketika masih kecil, “H-halo?” tanyanya coba-coba, anak itu diam saja, Sayaka melangkah ke depannya dan melambai dengan semangat, anak itu tetap diam saja, Sayaka menoleh dan melihat ke sekeliling, kegelapan tadi sudah berubah menjadi Sunagakure beberapa tahun yang lalu.
Anak didepannya melangkah santai, dan—yang membuat Sayaka shock—berjalan menembusnya, “N-nani?” Sayaka berkata kaget, tetapi anak itu diam saja dan duduk di bangku taman bermain, dia menatap ke arah anak-anak yang sedang bermain dengan sedih, kemudian salah satu dari anak-anak tersebut menyadari kehadirannya dan berbisik ke teman-temannya, teman-temannya menatap Sayaka kecil dengan pandangan tak suka kemudian berjalan ke arah Sayaka dan Sayaka kecil.
“Hei, monster, ngapain kau disini?” Tanya salah satu anak itu dengan pandangan melecehkan.
“Hei, kau itu lagi ditanya, jawab dong!” seru anak kedua Sayaka tetap diam saja.
“Hih, dasar anak monster, tak tahu diri!” seru salah seorang anak ketiga habis sabar dan memukulnya, Sayaka kecil bergeming, lalu menatap anak-anak itu dengan pandangan menyeramkan, anak-anak itu terkesiap.
“Kenapa kau memukulku? Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?” Tanya Sayaka, “K- Bukan urusanmu!” seru anak pertama dan memukul kepalanya, “Kau ini bukan siapa-siapa! Kau hanyalah anak yang dibuang!” seru anak pertama lagi.
Sayaka merasakan dadanya sakit, ‘Dulu, aku seperti itu’ pikirnya pahit, Sayaka berdiri dan berteriak, “APA SALAHKU?? APA SALAHKU SEHINGGA KALIAN BEGITU MEMBENCIKU?” anak-anak tersebut malah tertawa.
“Dia marah!! Oooh sungguh mengerikan!!” seru anak keempat.
“Ayo! Lempari dengan batu!” seru anak kelima. Anak-anak itu mulai melemparinya
“Dasar monster!”
“Sampah masyarakat!”
“Orang buangan!”
Sayaka ingin berteriak hentikan, tetapi tidak ada yang mendengarnya, Sayaka hanya diam, tepat ketika satu batu mengenai dahinya—dan mulai berdarah—Sayaka tetap diam, setelah anak-anak itu puas, mereka pergi, meninggalkan Sayaka menangis tersedu.
Sayaka menatap kejadian tadi dengan pahit, tetapi kemudian kenangan itu berubah. Sekarang, Sayaka kecil sedang duduk di bangku tepi lapangan, menatap tanah dengan muram, Sayaka menoleh ke sekeliling kemudian menatap sesuatu yang membuat mulutnya menganga, Sasori kecil. Dan Nenek Chiyo, versi lebih muda.
Bimbang, Sayaka melangkah mendekat ke Sasori kecil, dia melihat Sasori kecil sedang menatap ke satu arah, Sayaka mengikutinya dan menyadari kalau dia menatap ke Sayaka kecil, “Sasori, urusanku disini sudah selesai, ayo, nak, kita pulang.” Kata Nenek Chiyo.
Sasori diam saja, “Chiyo-Baa, kenapa anak itu sendirian?” Sayaka membelalak mendengar suara Sasori, suaranya sangat lembut dan halus.
“Orang-orang menjauhinya.” Desah Nenek Chiyo, juga menatap ke Sayaka kecil, “Kasihan dia, masih kecil tetapi sudah menghadapi kesendirian.” Kata Nenek Chiyo lagi.
“Kenapa orang-orang menjauhinya, Chiyo-Baa?”
“Dia itu adalah jinchuuriki.” Kata Nenek Chiyo muram, Sasori menoleh.
“Jinchuuriki?” ulangnya tak mengerti.
“Dia memiliki sebuah monster bijuu berbentuk harimau putih ekor delapan didalamnya.” Kata Nenek Chiyo, “Namanya ialah Hachibi, hachibi itu, pernah mengamuk di Konoha ketika dia baru lahir, dia sebenarnya dari Konoha, orangtuanya membawanya kesini setelah menyegel Hachibi ke dalam dirinya, supaya dia tidak dijauhi, tetapi tetap saja, ada orang yang menggosipkan, kasihan sekali, orang tuanya sudah meninggal.” Kata Nenek Chiyo sedih.
“Orang tuanya, kenapa mereka sekejam itu?” Tanya Sasori, kedengaran kesal.
“Ah, Sasori, kau belum mengerti, kau masih terlalu muda.” Kata Nenek Chiyo, “Kau kasihan padanya? Atau peduli padanya?” Tanya Nenek Chiyo lagi. Sasori diam saja. “Yah, kalau kau memang peduli padanya, aku rasa kau tahu apa yang harus kau lakukan.” Kata Nenek Chiyo tenang, kemudian berjalan pergi, sementara Sasori tampak kebingungan tetapi tetap mengikutinya.
Kemudian, kenangan itu berganti, kali ini, hanya ada Sasori, dia sedang duduk sendirian di taman, kelihatan sedih, tiba-tiba, Sayaka kecil menghampirinya.
“Hei, kau kenapa?” Tanya Sayaka, Sasori diam saja, “Hei? Ada apa? Kau sedang ada masalah?” Tanya Sayaka.
“Diam.” Kata Sasori dengan pandangan mengerikan. Sayaka hampir mengkeret tetapi tetap bertanya. “Hei—“ tetapi Sasori menepisnya pergi sehingga Sayaka terjatuh. Sasori terperanjat, “G-gomen’nasai. (Maaf)” kata Sasori pelan.
Tetapi Sayaka hanya tersenyum lemah dan bangkit berdiri sambil membersihkanpasir dari bajunya, “Daijoubu! Aku sudah biasa diperlakukan seperti ini,” kata Sayaka, tetapi Sasori memperhatikan suaranya bergetar, “Gomen, aku sudah menghabiskan waktumu dan mengganggumu, aku pergi sekarang.” Kata Sayaka dan berbalik pergi.
“Matte! (Tunggu!)” kata Sasori. Sayaka menoleh, “N-nani?” tanyanya. “Kau tidak menghabiskan waktuku ‘kok.” Kata Sasori tanpa berpikir panjang, kemudian menyadari apa yang barusan dia katakana dan wajahnya merona merah.
“Apa maksudmu?” Tanya Sayaka. “Aku tidak akan melukaimu seperti orang lain, aku—aku mau menjadi temanmu.” Kata Sasori tegas dan wajahnya semakin merah. Sayaka mengerjap, tetapi kemudian tersenyum lepas dan bahagia, untuk pertama kalinya dalam seumur hidupnya, dia merasakan kehangatan, “Arigato gozaimasu.” Katanya bahagia, “Namaku adalah Sayaka, siapa namamu?”Tanya Sayaka sopan.
Sasori tersenyum kecil, “Sasori, Sasori desu.” (gue gak tau nama kel.nya dia hohoho) “Sasori,” ulang Sayaka, nyengir, “Panggil aku Ya-Chan!” katanya ceria. “Ya-Chan.” Ulang Sasori.
“Jadi, kenapa kau sendirian dan bersedih?” Tanya Sayaka. Sasori menunduk dan terdiam beberapa saat, “Hei, kau tidak perlu menjawab kalau tidak ingin.” Kata Sayaka buru-buru. “Orang tuaku pergi misi.” Kata Sasori.
“Misi?” ulang Sayaka, “Kau rindu mereka? Tenang saja, mereka pasti akan kembali.” Kata Sayaka menghibur. “Sudah sejak 6 bulan yang lalu dan mereka belum kembali.” Dengus Sasori. “Ah…” Sayaka tak tahu harus berkata apa.
“Chiyo-Baa terus memintaku untuk menunggu, dia bilang misinya lama,” kata Sasori dengan suara bergetar, “Tapi aku tahu, aku sudah tahu kalau mereka tidak akan kembali lagi! Jadi selama ini, aku dan kakakku menunggu bukan untuk apa-apa! Tak ada gunanya! Berapa lama pun aku bersabar, mereka tidak akan kembali!” seru Sasori sampai tubuhnya bergetar sangking marah dan sedihnya.
Sayaka menatapnya, “Aku tak pernah tahu seperti apa wajah orang tuaku.” Gumam Sayaka. Sasori menoleh, “Tak sedikitpun?” Tanya Sasori, Sayaka menggeleng. “Aku mengerti perasaanmu, Sasori-San.” Kata Sayaka, “Orang tuaku meninggal dalam misi ketika aku masih bayi.” Kata Sayaka.
“Gomen.” Kata Sasori. Sayaka menatapnya dan nyengir, “Daijoubu!” kata Sayaka, Sasori terperanjat, dia merasakan wajahnya memanas, “Kau kenapa senyum?” Tanya Sasori.
“Kenapa? Karena aku yakin, orang tuaku tidak ingin aku menjadi anak yang kerjanya terus-terusan menangis dan meratap, aku yakin, mereka pasti ingin aku bahagia dan berjuang!” jawab Sayaka, Sasori terdiam.
“Hei, kalau kau kesepian, kau boleh datang ke tempatku ‘kok, tapi terserahmu sih, karena sudah kebiasaan semua orang menjauhiku.” Canda Sayaka. Sasori tetap diam, kemudian menoleh dan menatapnya.
“Aku mau menjadi temanmu.” Kata Sasori, “Nani?” Sayaka melongo kaget. “Apa kau bilang?” kata Sayaka tak percaya, “Aku mau menjadi temanmu.” Kata Sasori tegas. Sayaka terdiam, kemudian mulai menangis, “Loh? Hei? Kenapa kau?” Tanya Sasori agak panik.
“Tidak, hanya saja, belum pernah ada orang yang mengatakan hal seperti itu padaku, orang-orang cenderung menjauhiku, hiks, m-mendengar seseorang mengatakan hal tersebut membuatku—membuatku sangat senang.” Kata Sayaka sambil menghapus airmata. Sasori tersenyum, “Kalau begitu, mulai sekarang kita jadi sahabat, ya.” Kata Sasori, “Ya!” kata Sayaka gembira.
Kemudian, kenangan itu berubah lagi, kali ini, Sasori sedang duduk, kelihatannya dia menunggu seseorang. Benar juga, tak lebih dari sepersekian detik kemudian, Sayaka kecil datang berlari-lari.
“Saso-Kuuun!!!” panggilnya. Sasori menoleh. “Ya-Chan!” balasnya sambil tersenyum kecil, tetapi kemudian berubah jadi kaget ketika Sayaka jatuh.
“Ya-Chan!” seru Sasori kemudian berlari ke arah Sayaka, “Kau tidak apa-apa?” Tanya Sasori khawatir, lutut Sayaka terluka dan mengeluarkan banyak darah, sampai menetes.
“Uuu- s-sakit…” Sayaka memegangi lututnya, menahan airmata yang mau mengalir. Sasori tampak khawatir, dan kemudian, dengan tiba-tiba, Sasori menggendong Sayaka (Sasori : 9 Sayaka : 4) di punggungnya.
“Akan kubawa kau ke Chiyo-Baa!” kata Sasori sambil berlari menuju rumahnya. Sasori sampai ke rumahnya dan menendang pintu terbuka, disana, Nenek Chiyo sedang menyiapkan makan malam. “Sasori kau su—Astaga, apa yang terjadi!?” Tanya Nenek Chiyo melihat lutut Sayaka yang berdarah.
“Ya-Chan jatuh.” Kata Sasori sambil menurunkan Sayaka di bangku makan terdekat. “Akan kusembuhkan.” Kata Nenek Chiyo. “Tak usah, biar aku saja, aku akan mengambil kotak obat.” Kata Sasori tegas kemudian berlari mencari kotak obat, semenit kemudian dia kembali dengan kotak obat.
“Aku permisi sebentar, jemuran belum diangkat.” Kata Nenek Chiyo, Sasori mengangguk. Kemudian, Sasori berlutut di depan Sayaka dan mulai membersihkan lutut Sayaka, Sayaka berjengit, “Gomen.” Kata Sasori pelan. Kemudian, Sasori menutulkan obat merah ke luka Sayaka, “Sakit, ya?” Tanya Sasori berjengit melihat luka Sayaka.
“Sakit… sakiiit…. Hiks hiks.” Sayaka menangis, Sasori mendongak, kaget. “Loh, kok nangis?” tanyanya. “Sakit sekaliii!” tangis Sayaka makin kencang,
“Sudah, jangan nangis.” Kata Sasori pendek, dan membungkus luka Sayaka, “Tuh, sudah kan, jangan nangis.” Kata Sasori lagi. Tangis Sayaka mulai mereda, “A-arigato.. Saso-Kun.” Kata Sayaka sesenggukan. “Gomen, aku sudah menangis, bikin repot.” Kata Sayaka pelan, “Daijoubu.” Kata Sasori sambil menyimpan kotak obat, “Aku senang menjadi orang yang dapat menghapus airmatamu.” Kata Sasori dengan wajah merah padam. “H-heh?” Sayaka tidak dengar, “Ah, tidak…” gumam Sasori memalingkan wajah.
Ketika kenangan itu berubah, Sayaka (besar) merasakan sebuah entakan di perutnya, “Aku tidak pernah ingat semua kenangan ini…” katanya sedih. Dia mendongak untuk melihat kenangan baru, kali ini tempatnya di kebun bunga Sayaka buatan Nenek Chiyo, Sasori dan Sayaka sedang duduk di bawah pohon Sayaka besar dan sedang tertawa.
“Selamat ulang tahun, Ya-Chan!” seru Sasori. “Saso-Kun! Kau ingat!” seru Sayaka bahagia. “Tentu saja, kita ‘kan sahabat!” balas Sasori. Sasori kemudian merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah kotak kado. “Whaa… apa isinya, Saso-Kun?” Tanya Sayaka, tertarik.
“Bukalah.” Kata Sasori sambil menyerahkan kotak itu. “Aku ingin memberimu hadiah yang paling special, karena, kaulah sahabatku satu-satunya!” kata Sasori ceria, Sayaka tersenyum dan membuka kado itu, dan kemudian melongo kaget.
Sasori memberinya sebuah boneka—atau tepatnya—miniatur Sayaka dengan wajah tersenyum, dia membuatnya sangat detail sampai Sayaka tak tahu harus berkata apa.
“S-Saso-Kun… i-ini..” Sayaka kehabisan kata-kata, “Itu untukmu, sebagai lambang persahabatan kita.” Kata Sasori, Sayaka tersenyum kemudian melepas jepit rambut bunga Sayaka yang dia pakai, “Ini.” Kata Sayaka menyerahkannya ke Sasori, “Heh?” Sasori memandang jepitan itu dengan pandangan apa-apaan-ini?.
“Ini adalah satu-satunya peninggalan ibuku, dan benda kesayanganku, terimalah.” Kata Sayaka tersenyum, “Tidak, itu milikmu, aku tidak layak.” Kata Sasori. Tetapi Sayaka meraih tangan Sasori dan meletakkan jepitan itu di tangan Sasori.
“Ini, dan boneka, adalah lambang persahatan ini, simpanlah.” Kata Sayaka tersenyum, Sasori terdiam, kemudian dia berkata, sambil mencengkeram jepit rambut itu.
“Sayaka-Chan, aku berjanji, kita akan terus bersama selamanya, dan aku berjanji, aku akan menjadi orang yang menjadi alasanmu untuk tersenyum, tertawa, dan terus maju, aku akan menjadi orang yang dapat kau andalkan dan akan selalu melindungimu, bahkan walaupun itu berarti aku akan kehilangan nyawaku.” Kata Sasori, wajahnya merona, tapi suaranya terdengar mantap.
Sayaka merasakan pipinya memanas, kemudian menatap Sasori, “Kau tidak mati untuk sahabatmu, kau hidup demi mereka.” Kata Sayaka, Sasori mengangguk, “Kalau begitu…” kata Sayaka sambil meraih kelingking Sasori, dan mengaitkannya dengan kelingkingnya, “Aku akan menjadi alasanmu untuk hidup, dan kau akan menjadi alasanku untuk hidup.” Kata Sayaka nyengir lebar. “janji?” kata Sayaka, Sasori tersenyum, “Janji!” jawabnya.
Sayaka merasakan entakan tak enak di perutnya, “Aku melanggar janji itu…” bisik Sayaka, kemudian kenangan itu berubah lagi..
“Tidaaak! Aku tidak mau pergi!” jerit Sayaka kepada bibinya, “Aku tahu, Sayaka, tetapi kita harus pindah, aku minta maaf, tetapi ini adalah misi, tugas dari Kazekage! Aku berjanji, kalau misi ini selesai, kita akan kembali ke sini, ke Suna.” Kata bibinya lembut. Sayaka bergetar, kemudian berkata, “Izinkan aku mengucapkan selamat tinggal kepada Sasori.” Katanya, bibinya mengangguk, “Cepat.” Kata bibinya.
Sayaka berlari menuju rumah Sasori, “Saso-Kun!! Chiyo-Baa!! Permisii!!” seru Sayaka sambil mengetuk pintu, tak ada jawaban, “Saso-Kuuun!! Chiyo-Baaa!!” panggil Sayaka sambil mengeraskan suaranya tetapi masih tidak ada jawaban, “Permisiii!! Apakah ada orang dirumah??” panggil Sayaka, mulai gelisah. Tidak ada orang dirumah itu, Sayaka mendesah, kemudian mulai menulis surat, sambil menahan air mata.
Dear Saso-Kun,
Ketika menulis surat ini, aku sedang berada di rumahmu, tetapi tidak ada orang disini, jadi kutulis saja surat.
Saso-Kun, aku tahu ini sangat tiba-tiba dan aku tidak pernah memberitahumu soal ini, tetapi aku memang baru tahu soal ini hari ini.
Saso-Kun, aku benar-benar minta maaf, tadi, Bibi baru saja memberitahuku kalau kami akan pindah ke Kirigakure, bibi mendapat misi dan dia harus tinggal di Kirigakure entah berapa lamanya, aku tidak tahu.
Saso-kun, aku tidak yakin apakah kami akan kembali lagi ke Suna suatu hari nanti, tapi aku janji aku akan mengunjungimu tiap kali ada kesempatan.
Sasori-Kun, terima kasih atas segala hal yang telah kau lakukan selama kita bersahabat, kau sangat baik kepadaku dan aku tidak akan melupakan semua kebaikanmu.
Terimakasih, Sasori-Kun, aku sayang padamu.
Ya-Chan.
Sayaka menatap surat itu dan menyelipkan ke dalam rumah Sasori melalui pintu, kemudian dia berlari menuju rumahnya dengan air mata membanjiri wajahnya.
“Kau sudah kembali?” Tanya bibinya, “Sudah.” Kata Sayaka pelan tanpa menghapus airmatanya, bibinya mendesah, kemudian berkata, “Semua persiapannya sudah selesai, ayo, Sayaka, kita pergi.” Kata Bibinya. “Tunggu sebentar, bi.” Kata Sayaka kemudian berlari ke kamarnya.
Kamarnya sudah disusun rapih, dia berlari menuju kardus yang bertuliskan MAINAN SAYAKA. Kemudian dia membuka kardus itu dan mengeluarkan sebuah boneka, boneka itu adalah hadiah ulang tahun dari Sasori untuknya. Mendesah, Sayaka menaruh boneka itu di tas punggungya dan berlari ke bawah. Di bawah, sudah ada orang-orang yang akan membantu mengangkat barang-barang mereka, sangking sedihnya, Sayaka menabrak salah satu orang itu dan tak menyadari kalau boneka dari Sasori terjatuh. “Semuanya sudah?” Tanya bibinya, “Sudah.” Kata orang itu, “Baiklah, ayo, Sayaka, kita berangkat.” Kata bibinya. Sayaka mengangguk.
Sasori dan Chiyo baru sampai di rumah, Sasori melihat surat Sayaka dan membukanya, matanya membelalak, dan tanpa pikir panjang, dia berlari menuju rumah Sayaka, mengabaikan panggilan Nenek Chiyo dan berharap dia belum terlambat.
Dia sampai dirumah Sayaka dan melihat rumah itu sepertinya sudah kosong, “Tidak, kumohon, belum.” Gumam Sasori khawatir, kemudian menggebrak pintu membuka, pintu rumah itu tidak dikunci, “SAYAKA-CHAN!! BIBI!!” panggil Sasori, tetapi tidak ada jawaban. Setelah mengelilingi dan mencari di seluruh sudut rumah, Sasori terduduk di lantai, tak memercayai kalau dia tidak bisa mengatakan selamat tinggal kepada Sayaka secara langsung.
Sasori mendesah kemudian menyadari kalau di depannya adalah boneka hadiah ulang tahun darinya untuk Sayaka, dia memungut boneka itu dan membawanya pulang kerumah. Dan tiba-tiba, hujan turun, hal yang sangat langka di Suna, Sasori menatap langit, kemudian dia tidak bisa membendungnya lagi, semua kesedihan yang ada dalam dirinya, dia menangis dan meneriakkan, “SAYAKA-CHAAAAAAAAAAAAAN!!!”
~Beberapa hari kemudian~
Sayaka tidak menghabiskan makanannya, dia diam saja, sekarang dia berada di Konoha, bibinya sakit keras, kemudian, Tsukina datang menjenguknya, “Sayaka, kau akan terus begini?” Tanya Tsukina prihatin, “Disini tidak ada yang sebaik Sasori, begitu juga di Kiri.” Kata Sayaka muram sambil menatap hujan yang turun di luar. Tsukina mendesah, “Maaf, Sayaka, ini adalah permintaan bibimu, dan kurasa, memang inilah satu-satunya jalan keluar…” Sayaka menoleh, “Ap-“ “Secret Technique : Mind Erasing Jutsu!” seru Tsukina, kemudian Sayaka tidak mengingat apa-apa lagi, dia tertidur.
Sayaka membuka matanya dan terbangun, kaget. Disebelahnya, sudah ada Higen, dan Tsunade, “Bagaimana?” Tanya Tsunade, Sayaka tersenyum, “Ya, aku sudah ingat semuanya.” Kata Sayaka.
TO BE CONTINUED........
Read User's Comments0
Red Water Fairy and Red Puppet Master Chapter 7 : I Almost Remember...
Recap : Wataru dikalahkan oleh Sasori. Sementara itu, Sayaka yang masih tak sadarkan diri berada di rumah sakit. Kali ini, Higen, yang tak tahu apa-apa, akan melakukan misi yang menyangkut kakak angkatnya, Sayaka, bersama Tsunade dan beberapa ANBU, mereka pergi ke Sunagakure.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~konoha, Higen’s POV~
”Higen, ada apa? Kau tidak memperhatikan,” tegur Ebisu. ”Ah, gomen, Ebisu-Sensei,” gumam Higen. Ebisu mendesah, ”Kita istirahat dulu deh, kau segarkan dulu pikiranmu, Higen,” Higen tampak tidak enak, ”Sensei-”, ”Sudahlah, istirahat,” kata Ebisu.
”Higen, kau kenapa?” tanya sahabat baiknya, Konohamaru, ”Entahlah, perasaanku tidak enak,” jawab Higen muram. ”Apa kau mencemaskan kakakmu?” tanya Moegi, ”...Mungkin, sejak misi di Sunagakure beberapa waktu lalu, dia jadi sering ke Suna, dan kali ini lebih lama dari biasanya,” gumam Higen, ”Sudahlah, Sayaka-Neechan pasti baik-baik saja, kan ada Naruto-Niichan dan Sakura-Neesan, mereka berdua kan juga kuat, kakakmu pasti baik-baik saja,” hibur Konohamaru, ”Iya, terimakasih.” kata Higen tersenyum, ”Jangan sungkan.” balas Konohamaru nyengir lebar.
~Sasori’s POV~
Sasori memandang tubuh Sayaka yang terbaring di tempat tidur rumah sakit, kulitnya tidak lagi merah tetapi putih seperti biasa, banyak perban di tubuh Sayaka, matanya tertutup rapat. ”Apa dia akan baik-baik saja?” tanya Sasori, ”Untuk saat ini, kondisinya stabil, kalau normal, 2 hari atau mungkin besok, dia sudah sadar, tergantung tekadnya,” jawab Sakura. ”Dimana Kakashi-Sensei dan yang lain?” tanya Sasori, ”Dibawah, di kantin.” kata Sakura lagi sambil merapikan selimut Sayaka. Sasori berbalik untuk pergi, ”Sasori, tunggu, aku ada pertanyaan.” panggil Sakura. Sasori berhenti dan berbalik, ”Apa?” tanya Sasori.
Sakura memejamkan mata dan mendesah lalu membuka matanya lagi, ”Sebelum di rawat, Sayaka sempat sadar sebentar, dia minta tolong,” kata Sakura, sebelah alis Sasori terangkat, ”Minta tolong apa?”. ”Dia ingin Tsunade-Sama dan Higen datang ke sini, dan membuka segel jurus, katanya ada hubungannya denganmu,” tuntut Sakura. Sasori memandang Sayaka sesaat, ”Lalu? Apa kau sudah memanggil Tsunade-Sama?” tanya Sasori. ”Belum, aku hanya ingin tahu, agar jelas,” kata Sakura bimbang. Sasori kali ini menatap Sakura.
”Apa.. dulu kau ada hubungan dengan Sayaka?” tanya Sakura takut-takut, Sasori mendesah, ”Ceritanya panjang, panggil saja dulu Tsunade-Sama dan si Higen ini, biar kujelaskan langsung ke mereka,” kata Sasori. ”Tapi-”, ”Aku mau kebawah, tolong panggil mereka, ini permohonan dari Sayaka, ’kan?” kata Sasori menoleh menatap Sakura, tangannya sudah di gagang pintu. Bimbang, Sakura mengangguk. ”Iya, aku akan memanggilnya.” kata Sakura kemudian mengikuti Sasori keluar kamar.
~Konoha, Tsunade’s POV~
”Apa? Sakura meminta aku dan Higen untuk pergi ke Suna?” Tsunade mengernyit, ”Iya, katanya ini permintaan dari Sayaka sendiri,” kata Shizune, ”Kenapa harus melewati Sakura?” tanya Tsukina, ”Dan kenapa harus aku dan Higen?” tanya Tsunade. ”Kata Sakura, Sayaka terluka parah, akibat hachibinya meledak keluar,” kata Shizune. ”Apa?! Bagaimana bisa?” tanya Tsunade terkejut, ”Disini tidak diberitahukan kenapa, katanya karena Kakashi ingin membicarakan hal ini secara langsung,” jelas Shizune. Tsunade bersandar ke kursinya, ”Bagaimana? Kau pergi atau tidak?” tanya Tsukina. Tsunade tampak berpikir keras, ”Masalahnya, siapa yang menggantikanku selama pergi?” gumam Tsunade bingung, ”Serahkan saja pada Tsukina-Sama, Tsunade-Sama,” usul Shizune. ”Iya, ya,” gumam Tsunade, kemudian menatap Tsukina, ”Pokoknya kau harus menggantikanku,” kata Tsunade tegas, ”Apa? Oh- baiklah, baiklah!” gerutu Tsukina sebal. ”Bagus, Shizune! Panggil Higen kemari!” seru Tsunade. ”Baik.” Shizune pun keluar dari ruangan itu.
~Higen’s POV~
”Hei, Higen, itu ’kan Shizune-Neechan,” kata Konohamaru, ”Benar, ada apa dia kemari?” kata Higen. Shizune kemudian berbicara dengan Ebisu, tetapi karena jauh, Higen dan yang lain tidak dapat mendengar mereka. ”Ayo! Kita curi dengar!” bisik Konohamaru bersemangat. Baru saja Konohamaru berdiri, dia terjatuh. Higen menarik ujung scarfnya. ”Eh, woi! Higen! Lepaskan! Aku ingin tahu!” Konohamaru marah-marah. ”Jangan, pembicaraan mereka, itu tampaknya bukan sesuatu yang patut kita ketahui,” kata Higen, ”Tapi, Higen, justru itu yang menarik, sudahlah, biarkan kami mencuri dengar,” gerutu Moegi, ”Kubilang diam.” kata Higen tegas, dan, agak mengerikan. ”U-uuh.” gerutu mereka mengkeret atas pandangan yang diberikan Higen.
Di mata Higen dan yang lain, Shizune dan Ebisu tampaknya sedang berdebat atau berunding. Kemudian Ebisu akhirnya mengangguk dan mereka berlari ke arah Higen. ”Higen, kami perlu bicara.” kata Ebisu. Dari tampang mereka, Higen sedikit khawatir, tampang mereka seperti seseorang telah terbunuh, Higen kemudian berdiri dan mengikuti mereka.
”Ada apa?” tanya Higen, ”Bagaimana kami harus memulai... ehm, jadi... kau akan pergi bersama Tsunade-Sama ke Sunagakure,” kata Ebisu, ”...Memangnya ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan Sayaka-Neechan?” tanya Higen. ”Begini... hachibi milik kakakmu meledak saat di Sunagakure, kabarnya, kakakmu beserta tim 7 dan Yamato bertarung melawan musuh yang kuat, dan sekarang kakakmu dirawat di rumah sakit Sunagakure..” jelas Shizune. ”...Apa?” gumam Higen, terkejut. ”Yah, pokoknya Tsunade akan menjelaskan di perjalanan,” kata Shizune. ”Kau ditunggu Hokage di pintu gerbang Konoha, mungkin kau mau mempersiapkan diri atau apa,” kata Ebisu, ”Iya, aku akan mengganti bajuku dulu, yang ini basah karena keringat.” kata Higen kemudian pergi.
Beberapa menit kemudian Higen tiba di gerbang utama Konoha, disana, Tsunade dan 5 ANBU telah menunggunya, juga burung panggilan Tsunade, Kari, ”Tsunade-Sama, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Higen. Tsunade menatapnya dan mendesah, ”Aku akan menjelaskannya sambil pergi, ayo,” kata Tsunade sambil naik ke punggung Kari, ”Baiklah,” kata Higen. ”Sekarang, tolong jelaskan,” tuntut Higen, Tsunade mendesah ”Sebelum aku menjelaskan kuminta kau untuk tidak memotong pembicaraanku saat menjelaskan,” kata Tsunade, Higen mengangguk. ”Baiklah, kau sudah tahu kalau kakakmu dirawat dirumah sakit Sunagakure, dan sebabnya adalah Hachibi meledak keluar dari dirinya, ini saja yang kau tahu,” kata Tsunade, Higen menatapnya. ”Chakra Hachibi meledak keluar dari dalam diri Sayaka, tetapi masih dapat ditangani, menurut laporan yang kuterima, kondisi terakhir Sayaka adalah dia diselimuti chakra Hachibi dan sudah berekor enam, setelah itu, Sasori berhasil menekan chakra Hachibi.” kata Tsunade.
”Menurut laporan terakhir, keadaannya stabil, tetapi masih membutuhkan istirahat,” kata Tsunade, ”Kau boleh bicara sekarang,” kata Tsunade, Higen menatapnya kemudian tampak berpikir, ”Laporan itu mengatakan kalau kondisi Sayaka-Neechan sekarang stabil, hanya butuh istirahat, tetapi kenapa kita dipanggil kesana?” tanya Higen, ”Itu, Kakashi mengatakan lewat laporan kalau lebih baik kita membicarakannya langsung dengan dirinya, masalah ini bukan masalah yang gampang dibicarakan lewat surat atau laporan,” kata Tsunade. ”Tetapi, siapa yang Neechan lawan, sehingga sanggup membuat dia lepas kontrol hingga memunculkan 6 ekor?” gumam Higen, ”Justru itu, Kakashi juga mengatakan kalau lebih baik dia memberitahukannya padaku secara langsung,” kata Tsunade.
”Baiklah, jadi yang bisa kita pikirkan sekarang adalah siapa lawan Sayaka-Neechan dan kenapa kita dipanggil kesana,” kata Higen. ”Tsunade-Sama,” panggil seorang ANBU, ”Ya? Ada apa?”, ”Hanya untuk jelas saja, bukankah ada kemungkinan bahwa Akatsuki menyerang kelompok 7?” tanya ANBU itu, Tsunade tampak berpikir, ”Kita tidak bisa menghilangkan kemungkinan itu, tetapi, yang menggangguku adalah, kenapa mereka menyerang tim 7 dengan sangat ceroboh seperti itu,” kata Higen, ”Benar, laporan itu juga mengatakan kalau Gaara, Temari, dan Kankurou ikut ambil bagian dalam pertempuran itu,” kata Tsunade, ”G-Gaara?!” tanya Higen kaget, ”Iya, Gaara, dulu diselamatkan oleh tim 7 dan tim Gai karena diculik oleh Akatsuki,” kata Tsunade.
Higen tampak khawatir, ’Bukankan pada perang saat ujian chuunin ketiga, Gaara yang mencelakakan Neechan, dia mencelakakannya dengan brutal, apa hubungannya Gaara dengan semua ini?!’ Higen mengalami perang batin, ”Tenang saja, Gaara sudah berubah, aku yakin Sayaka memberitahukan hal yang sama padamu?” tegas Tsunade seolah-olah tahu isi pikiran Higen, ’Ah, iya, kalau diingat, memang Neechan pernah mengatakan hal seperti itu padaku’ pikir Higen. ”Baiklah, jadi tim Gaara juga terlibat dalam pertarungan ini, aku tidak yakin Akatsuki akan dengan ceroboh menyerang Neechan dan yang lain sementara mereka berada dekat dengan Sandaime,” kata Higen, ”Apa maksudmu?” tanya Tsunade, ”Kita sudah tahu kalau Naruto-Niichan sudah berteman dengan Sandaime, belum lagi Sayaka-Neechan berada disana untuk belajar pada Sasori,” kata Higen, ”Dan poinmu adalah?” tanya Tsunade, ”Apakah Kakashi-Sensei atau siapa pun mengabarkan anda kalau mereka akan pulang?” tanya Higen, ”Iya, Sayaka bilang dia akan pulang, dan kalau dilihat dari waktunya, saat ini seharusnya dia sudah berada di Konoha, jika tidak diserang, tentunya,” kata Tsunade.
”Nah, biasanya, kalau kita mempunyai seorang teman dari jauh, dan dia akan pulang, bukankah kita akan berpamitan?” kata Higen, ”Apa maksudmu?”, ”Misalkan aku adalah teman anda yang berasal dari Suna, sedang berkunjung ke Konoha, jika aku akan pulang, tentunya anda akan mengantarakan aku sampai ke gerbang utama dan berpamitan ’kan?” kata Higen, ”Iya, benar,” kata Tsunade, ”Nah, hal yang sama juga pasti terjadi pada tim 7 dan Sandaime, sebelum Sayaka-Niichan dan yang lain akan berangkat pulang, aku yakin mereka pasti akan berpamitan atau mengobrol sedikit sekedar ucapan sampai jumpa,” jelas Higen. ”Kau benar,” kata Tsunade, ”Nah, sekarang, coba kita lihat dari sudut pandang penyerang, kita tidak mungkin menyerang dengan begitu ceroboh, meskipun Akatsuki terdiri dari ninja-ninja dengan kekuatan luar biasa, aku tahu kalau mereka akan pergi misi atau apa, mereka selalu berdua, tak pernah lebih, meskipun kekuatan mereka hebat, tetapi mereka akan melawan tim 7 sekaligus, dan bahkan tim Sandaime, kekuatan Sayaka-Neechan dan yang lain, itu tak bisa dianggap remeh,” kata Higen.
”Kecuali kalau mereka menyerang tim 7 ketika Sandaime dan yang lain, aku hanya bisa menganalisis sedikit,” kata Higen kalem, ”Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan ini lebih banyak,” kata Tsunade kalah. Higen diam saja, ’Sebenarnya, apa yang terjadi pada Nee-Chan? Apa yang membuat Nee-Chan lepas kontrol seperti itu?’ Higen berpikir keras, perasaannya campur aduk, takut, ngeri, dan, marah.
~Sakura’s POV~
”Dia masih belum bangun?” tanya Kakashi, ”Belum, aku juga tidak tahu kenapa, seharusnya dia sudah bangun sekarang, bagaimana pun juga, dia kan tidak beda jauh dari Naruto,” kata Sakura cemas, ”Tapi mengejutkan melihat bagaimana Sayaka lepas kontrol begitu saja setelah mengira Sasori mati,” kata Gaara, ”Sayaka menyangka Sasori mati, jadi mungkin karena itu dia mengalami patah semangat dan menyerah pada Hachibi,” kata Yamato, ”Bagaimanapun juga, Nenek Chiyo sendiri yang meminta Sayaka untuk menjaga Sasori,” kata Gaara.
Pintu terbuka, Sai dan Naruto masuk, ”Sayaka-Chan belum bangun juga?” tanya Naruto, ”Iya,” jawab Sakura. ”Mana Sasori?” tanya Kakashi, ”Dia ke rumah sebentar, katanya ada yang tertinggal,” jawab Sai. ”Sayaka-Chan...” bisik Naruto sedih, ”Kapan Hokage dan Higen tiba disini?” tanya Gaara, ”Kurang lebih besok atau 2 hari lagi,” kata Kakashi, ”Kuharap Sayaka sudah bangun ketika Hokage dan Higen tiba,” kata Yamato. ”Sudahlah, sekarang kita tinggalkan saja Sayaka, waktu berkunjung hampir habis,” kata Kakashi, ”Iya, kalau kalian mau, kalian bisa makan malam di Mansion Kazekage, aku sudah meminta para pelayan untuk menyiapkan makanan,” kata Gaara, ”Terimakasih, kau baik sekali,” kata Kakashi.
~Midnight, Sasori’s POV~
Sasori menatap ke langit, bintang bersinar cerah, tapi menurutnya itu tetap saja suram. Dia berjalan di jalan desa yang berpasir, semua lampu sudah mati, semuanya sunyi senyap dan tak ada orang di jalan, bahkan kucing atau tikus pun tidak.
Dia berhenti dan menatap sebuah jendela rumah sakit, jendela itu adalah jendela kamar Sayaka. Mendesah, Sasori memanjat ke jendela yang terletak di lantai 3 itu, sebisa mungkin tidak membuat suara. Dengan perlahan, dia membuka kunci jendela dan duduk di bingkai jendela itu, menatap Sayaka yang sedang tidur, tetap sama seperti kemarin dan belum juga terbangun.
Semakin dia menatap, semakin dia tak mengerti, ”Kenapa?” bisiknya, ”Setelah 20 tahun, kenapa orang yang seperti Ya-Chan muncul lagi?” Sasori bertanya entah kepada siapa. Kemudian dia mendengar suara dikepalanya, suara hatinya yang terus menjerit-jerit sejak kemarin. ’Kau tahu kalau itu Ya-Chan, Ya-Chanmu yang dulu,’ ’Tidak, Ya-Chan sudah mati,’ ’Tidak ada yang berkata begitu, hanya kau sendiri,’ ’Dan kalau memang itu Ya-Chan? Apa hubungannya?’ ’Tentu saja ada! Kalian ini dulu sahabat yang sangat dekat,’ ’Itu dulu,’ ’Wataru pun bilang begitu,’ ’Kini sudah berubah,’ ’Dan kau masih memegang janjimu padanya, dan tak akan pernah kau lupakan,’ ”Dia BUKAN Ya-Chan!” seru Sasori entah kepada siapa.
Sasori mendesah berat, ”Ya-Chan, Sayaka-Chan, mereka tidak sama!” tegas Sasori pada dirinya sendiri, ”...Tetapi, kenapa aku sangat yakin kalau dia itu memang Ya-Chan?” gumam Sasori. Dia mendesah berat, sementara satu ingatan yang telah lama dia lupakan, menguap kembali ke pikirannya.
”Hei! Kau kenapa?!” seru seorang anak kecil berambut merah sebahu menyapanya, Sasori diam saja, tidak mengacuhkan anak kecil ini. ”Kenapa kau diam saja? Kenapa kau tampak sedih?” tanya anak kecil itu lagi, ”Diamlah,” perintah Sasori, ”Kenapa?” tanya anak itu, dan itu membuat kesabaran Sasori habis, ”Hei-” anak itu mencoba menyentuh Sasori, tetapi Sasori mendorongnya menjauh hingga anak itu terjatuh. Sasori tampak kaget, ”M-maaf,” katanya, tetapi anak itu hanya tersenyum, ”Daijoubu, aku sudah biasa diperlakukan seperti ini,” kata anak itu. Anak itu membersihkan pasir dari bajunya dan mengulurkan tangannya serta tersenyu manis, ”Namaku Tsuto Sayaka, senang bertemu denganmu! Kau bisa memanggilku Ya-Chan!” serunya ceria.
Ingatan itu menabraknya dan Sasori terperanjat kemudian menoleh dan menatap Sayaka dengan tatapan seakan Sayaka tiba-tiba bangun dan menamparnya. ”Sayaka adalah Ya-Chan,” gumam Sasori. Sasori terus memandangi Sayaka lekat-lekat. Walaupun wajah Sayaka kini sudah tampak dewasa, entah kenapa Sasori terus melihat bayangan wajah yang kekanakan masih terpatri di wajah Sayaka. ”Tapi kenapa Sayaka tidak ingat pada diriku?” tanya Sasori entah kepada siapa. Setelah beberapa menit berpikir, mondar-mandir dan garuk-garuk kepala karena bingung, Sasori akhirnya pergi meninggalkan Sayaka yang sama sekali tak bergeming. (maaf, udah habis ide ^^)
~Higen’s POV~
Sudah sejak 2 hari lalu mereka terbang tanpa berhenti, Higen terbangun di suatu subuh, perlahan-lahan dia melihat siluet desa Suna yang semakin jelas.
”Kita sudah sampai,” kata Tsunade. Higen duduk tegak agar bisa melihat semakin jelas, ”Ini kali pertamamu ke desa Suna?” tanya Tsunade, Higen mengangguk. Akhirnya mereka berhenti di depan gerbang masuk Suna, yang menurut Higen adalah terowongan tak beratap dan bercahaya. Setelah di tanya-tanyai dari mana mereka dan tujuan apa mereka ke sini, dua jounin Suna membawa mereka ke kantor Kazekage.
Bagi Higen, desa Sunagakure sangat berbeda dengan Konoha, hampir semua bangunan disitu atapnya rata, dan hampir semua bangunan disitu bentuknya bundar, jalan-jalannya hampir semua tertutupi pasir, warna emas kecokelatan memenuhi matanya. Setelah beberapa lama berjalan, akhirnya mereka sampai di gedung Kazekage. Gedung itu besar, dan sama seperti gedung lainnnya, bundar.
Mereka masuk ke dalam gedung itu, di dalamnya terang, tetapi hampir tidak ada orang, hanya satu atau dua jounin atau pelayan yang lewat, beberapa jounin dan pelayan menoleh tertarik ketika rombongan Higen melewati mereka. Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah pintu yang besar dan berukir. Salah seorang Jounin mengetuk pintu dan sebuah suara dalam dan dingin berkata, ”Masuk,” kemudian si Jounin membuka pintu dan mempersilahkan mereka masuk.
”Ah, Hokage.” sambut seorang pria muda dengan rambut merah, Higen hampir tak percaya dia adalah Kazekage, umurnya saja mungkin sama dengan umur Sayaka, matanya berwarna biru toska dan dikelilingi lingkaran hitam, bajunya juga berwarna merah, dia tidak memakai jubah Kage seperti Tsunade, sebuah kanji berarti ’cinta’ diatas mata kanan(?)nya, dan dia tidak punya alis? Higen mengangkat sebelah alis dalam hati. Orang itu pastilah Gaara, Higen sudah pernah melihatnya, atau tepatnya melewatinya. Disebelahnya ada orang yang Higen kenal, yaitu Kakashi.
”Kazekage.” gumam Tsunade, ”Silahkan duduk.” kata Gaara kepada Tsunade dan Higen, mereka duduk. ”Kazekage, kalau boleh tahu, sebenarnya bagaimana kejadian penyerangan Sayaka ini bisa terjadi?” tanya Tsunade tanpa basa-basi, disebelahnya, Higen memperhatikan dengan seksama. Gaara mendesah, ”Kami diserang oleh 2 orang gadis kembar yang bernama Yamana Yui dan Rui,” kata Gaara, mata Higen terbelalak, ”Dan oleh kakak Sasori sendiri, Pasir-Hitam-Wataru.” kata Gaara. ”W-wataru?” bisik Tsunade tak percaya, ”Kenapa?” tanya Tsunade lagi, Gaara mendesah kemudian mulai menjelaskan secara rinci penyerangan itu, Kakashi juga menceritakannya.
Tsunade mendesah, ”Aku tak menyangka akan terjadi sesuatu seperti ini.” gumamnya sementara Higen tampak agak kaget, ”Jadi, apakah sekarang Sayaka sudah sadar?” tanya Tsunade, Gaara menggeleng.
Beberapa detik kemudian pintu diketuk, ”Masuk,” jawab Gaara, Temari masuk, terengah, ”Oh, Hokage, maaf, baguslah,” Temari masih terengah dan memegangi rusuknya. ”Ada apa, Temari?” tanya Gaara, ”Sayaka—dia—dia sadar—siuman!” seru Temari menyelesaikan kata-katanya dengan susah payah.
”Apa?!” Higen bangkit berdiri, ”Kazekage, bisakah saya melihat Sayaka?” tanya Higen agak tergesa, Gaara bangkit berdiri. ”Kita semua akan kesana,” kata Gaara.
~Sayaka’s POV~
”...Dimana.. aku?” tanya Sayaka, suaranya parau karena sudah tiga hari tidak digunakan. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, perlahan-lahan dia melihat bayangan kabur seorang gadis berambut pink pendek, dan seorang laki-laki berambut kuning, ”S-Sakura-Chan? Naruto-Kun?” bisik Sayaka, ”Kau merasa oke, Sayaka-Chan?” tanya Naruto, ”Parah.” gumam Sayaka sambil bangun untuk duduk, Sakura menahannya, ”Kau masih lemah, berbaring saja dulu.” kata Sakura sambil menahan bahunya, ”Ugh.” gerutu Sayaka jengkel tetapi tetap berbaring.
”Aku memiliki chakra Hachibi di tubuhku, tak usah repot-repot,” gerutu Sayaka, ”Tetap saja, Sayaka, kau harus istirahat,” kata Sakura galak. Sayaka memutar bola mata, ”Ah, iya, Sayaka-Chan, Tsunade-Baachan dan Higen sudah datang.” kata Naruto.
Sayaka terbelalak kemudian bangkit dan duduk, ”Apa- oww,” Sayaka mengerang ketika kepalanya menabrak rak hiasan di atas tempat tidur, ”Temari sedang memanggilnya, jadi kau tenang saja.” kata Naruto, ”Oh, baguslah.” gumam Sayaka.
~Sasori’s POV~
Sasori berjalan di jalan Sunagakure yang berpasir, dia sedang dalam perjalanan ke rumah sakit ketika tiba-tiba dia mendengar Temari memanggilnya, ”Sasori!” Sasori menoleh, ’Hokage? Gaara dan Kankurou juga? Dan siapa anak berambut hitam itu? Ada apa ini?’ Sasori tampak bingung.
Temari akhirnya sampai, sambil memegangi rusuknya, ”Ayo, kita ke rumah sakit!” seru Temari dengan susah payah. ”Sasori...” gumam Tsunade, ”Hokage...” balas Sasori, ”Aku dan Higen disini karena permintaan keponakanku sendiri, dan aku yakin, apapun keinginannya, pasti ada hubungannya denganmu.” kata Tsunade. Sasori hanya mengangguk, ”Lebih baik kita langsung ke rumah sakit.” kata Gaara. Sasori mengangguk lagi lalu mereka berjalan dengan agak tergesa menuju rumah sakit.
~Higen’s POV~
Higen berjalan dalam diam, dia mengamati setiap pemandangan dengan teliti, bukan karena dia terkesan, tapi dia bosan dan dia sangat ingin melihat kakak angkatnya. Dia mengikuti Tsunade, Temari, Gaara, Kakashi, dan Sasori. Ketika mereka sampai di rumah sakit dia melihat seseorang yang seingatnya bernama Yamato dan Kankurou.
”Ah, Hokage-Sama, Kazekage-Sama,” Yamato serta merta membungkuk, ”Ada apa?” tanya Yamato lagi, ”Kami ingin bertemu Sayaka.” jawab Tsunade, ”Oh, tentu saja, biar kutunjukkan.” kata Yamato. Mereka mengikuti dengan diam. Setelah berjalan –yang bagi Higen- cukup lama, mereka berhenti di depan sebuah pintu. Yamato lalu mengetuk lalu membuka pintu itu.
~Sayaka’s POV~
Dia, Sakura, dan Naruto menoleh ketika pintu diketuk dan dibuka. Dia agak kaget ketika melihat bibinya dan Higen. Tanpa basa-basi, Tsunade berkata, ”Aku ingin bicara dengan Sayaka, boleh?” walaupun ini pertanyaan, kedengarannya seperti perintah dan tidak akan menerima kata ’tidak’ sebagai jawaban. Yang lain mengangguk kemudian beranjak keluar dari kamar itu.
Akhirnya, tinggal dia, Higen dan Tsunade di ruangan itu, ”Jadi, kenapa kau memanggilku dan Higen kesini?” tanya Tsunade sambil duduk di kursi disebelah tempat tidur Sayaka, ”Yah,” Sayaka menggumam, ”Ini, tentang masa laluku.” kata Sayaka kemudian menarik nafas dalam-dalam.
”Masa lalumu? Kau sudah tahu semuanya ’kan?” kata Tsunade, ”Tidak.” kata Sayaka, ”Apa?” tanya Tsunade, ”Begini—aku..” suara Sayaka mengecil, Tsunade dan Higen tetap menunggunya dengan sabar.
”Ketika aku akan melawan Wataru, Wataru bercerita kepadaku,” kata Sayaka agak salah tingkah, Tsunade tampak terganggu tetapi tetap tenang, sementara Higen mendengar dengan penuh perhatian, dia ingin tahu.
”Wataru bercerita apa?” tanya Tsunade, Sayaka mengernyit kemudian berkata dengan agak salah tingkah.
”Katanya, aku pernah tinggal di Sunagakure sampai umurku 5 tahun,” kata Sayaka memulai kemudian mendesah, ”Dan kata Wataru, saat itu aku berteman dekat dengan Sasori dan dirinya, dan juga Chiyo-Baasama,” kata Sayaka.
Tsunade mendesah, tetapi mempersilahkan Sayaka melanjutkan.
”Tapi kenapa aku tidak memiliki satu ingatan pun tentang mereka? Bahkan ingat suara atau ciri-ciri mereka pun tidak! Aku—aku bingung—apakah yang dikatakan Wataru itu benar atau tidak—aku tahu aku seharusnya tidak begitu mudah mempercayainya tapi-” Sayaka berhenti untuk menarik nafas dan menjaga agar dia tetap tenang, ”Aku hanya ingin tahu yang sebenarnya.” kata Sayaka muram.
Tsunade menarik nafas berat, Higen disebelahnya berusaha memproses semua ini di otaknya, ’Nee-Chan pernah tinggal di Sunagakure? Bagaimana mungkin!’ ”Bibi, aku hanya ingin tahu semua masa laluku.” kata Sayaka berat.
”Apakah aku pernah tinggal di Sunagakure?” tanya Sayaka, menatap lurus ke mata Tsunade, Tsunade diam saja, ”Bibi, tolong jawab aku,” desak Sayaka, ”Kenapa bibi tidak mau jawab? Bibi! Bibi Tsunade!” seru Sayaka separo marah.
Tsunade diam sebentar, ”Ya.” katanya berat, Sayaka terhenyak, ”Jadi apa kata Wataru itu benar...” bisiknya, ”Tapi, kenapa aku tidak memiliki satu kenangan pun tentang Suna?” tanya Sayaka.
”Baiklah, Sayaka, aku akan menceritakan kenapa kau tidak ingat satu hal pun tentang Suna, ini ada hubungannya dengan orang tuamu, jadi jangan menyela.” kata Tsunade, Sayaka mengangguk.
”Dulu, Konoha gempar karena insiden Kyuubi yang merenggut nyawa Yondaime dan istrinya, kira-kira itu terjadi bulan Oktober, beberapa bulan kemudian, Konoha digemparkan lagi karena adanya serangan Hachibi, Hachibi itu, berasal dari ibumu, ketika dia melahirkan kau, Hachibi meledak keluar, ibumu untungnya selamat, tetapi karena itu, dia terpaksa menyegel Hachibi di dalam tubuhmu,” kata Tsunade, Sayaka berjengit mendengar hal ini.
”Kemudian, mereka takut kau akan dijauhi, mereka takut masa depanmu akan suram bila ada anak-anak yang mencacimu, karena itu, mereka kabur ke Sunagakure, dan meminta ayah Tsukiko (cross over XD) untuk menjaga takhta klan Tsuto, kemudian, ketika mereka dalam misi, mereka bertemu ayah Kakashi, mereka bekerja sama untuk melawan musuh, tetapi malangnya, musuh mereka jauh lebih kuat, ayah Kakashi serta orang tuamu terdesak, orang tuamu mengorbankan diri mereka agar ayah Kakashi selamat, karena itulah mereka meninggal, dan sejak saat itu, kau diurus oleh saudara jauh ayahmu di Suna yang sudah janda dan sebatang kara.”
”5 tahun kemudian, Bibimu berencana akan pindah ke Kirigakure, tetapi seperti yang kau tahu, kau sudah bersahabat dekat dengan Sasori dan Wataru, kepindahan ini membuatmu shock, kau menangis berhari-hari dan tak mau makan, bibimu melakukan ini karena tidak ingin kau kenapa-kenapa, dia berpikir, ’Orangtua Sayaka menitipkan Sayaka padaku bukan supaya Sayaka terus menangis.” jadi, dia menggunakan salah satu teknik rahasia klan Tsuto, yaitu penghapus ingatan, dia menghapus semua kenangan tentang Suna dari memorimu, untuk kebaikanmu, (bibi sayaka ini ud meninggal krn sakit) jadi itulah, semua yang perlu kau ketahui tentang masa lalumu, Sayaka.” kata Tsunade mengakhiri kisahnya.
Sayaka diam, berusaha menyerap semua penjelasan Tsunade, ”Jadi... aku tak akan ingat satu hal pun? Tidak adakah yang bisa dilakukan untuk mengembalikan ingatanku?” tanya Sayaka putus asa. ”Ada satu hal.” kata Tsunade tegas, ”Bibimu sempat mengajariku jurus-kontra dari jurus penghapus ingatan itu, Higen juga bisa,” kata Tsunade, ”Apa?” tanya Higen, bersuara untuk pertama kalinya, ”Kau bisa, kau pernah diajari olehku.” kata Tsunade pendek, Higen berpikir sebentar kemudian mengangguk.
Wajah Sayaka terangkat, ”Benarkah?” tanya Sayaka bersemangat, Tsunade mengangguk, ”Kapan kita mulai?” tanya Sayaka, ”Sekarang,” kata Tsunade pendek. Tsunade berdiri dan mengambil obat bius, ”Kau harus dibius dulu.” kata Tsunade, Sayaka mengangguk, kemudian Tsunade menyuntikkan obat bius itu kedalam tubuh Sayaka, dengan cepat Sayaka tertidur lelap.
Tsunade menghela nafas, ”Kita mulai, Higen.” kata Tsunade, Higen menangguk, ”Hijutsu: Modori-chi no memori!” seru mereka bersamaan.
~Sayaka’s POV, inside Sayaka’s brain~
Sayaka berada di kegelapan, “Dimana aku?” gumamnya bingung, kemudian dia melihatnya, sebuah cahaya, cahaya itu melayang-layang tak jauh dari tanah, setinggi badan anak kecil, “…Apa… itu?” bisiknya. Kemudian, cahaya itu memanjang dan membesar, cahaya putih itu mulai berwarna, merah, biru, biru tua, hitam. Dan kemudian cahaya itu akhirnya berwujud, Sayaka tercengang melihat wujud cahaya itu. Sayaka ketika masih kecil.
To be continued...
Read User's Comments0
Subscribe to:
Comments (Atom)








